Article Font Size
Small
Medium
Large

Syirkah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Menurut pandangan umum manusia disebut sebagai makhluk sosial yang mana berarti bahwa setiap manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup tanpa bantuan dari orang lain sehingga dibutuhkan suatu tindakan interaksi dengan manusia yang lain dalam bentuk hubungan timbal balik sehingga suatu bentuk kehidupan akan berjalan dengan baik. Sedangkan menurut pandangan islam, hubungan antar sesama makhluk disebut hablum minan naas, oleh karena membutuhkan bantuan orang lain maka dibutuhkan suatu tindakan yang disebut muammalah, karena muammalah terbagi menjadi beberapa macam, maka makalah ini menghususkan pada bab syirkah atau perkongsian, dikarenakan banyak sekali praktek perkongsian disekitar kita sehingga perlu untuk dipelajari.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengetian syirkah dan bagaimana dasar hukumnya?
2. Apa Rukun dan Syarat Syirkah?
3. Apa saja macam-macam syirkah?
4. Apa yang dimaksud dengan Mutanaqishas dan Syirkah Muntahiyah bit Tamlik?
5. Seperti apa Fatwa MUI-DSN tentang segala macam syirkah?
6. Bagaimana aplikasi syirkah di Bank Syariah dan Lembaga Keuangan Syariah?
7. Apa yang dimaksud dengan istilah Revenue Sharing dan Profit Sharing menurut Fatwa DSN MUI No.15?
8. Apa sajakah yang membatalankan syirkah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengetian syirkah dan dasar hukumnya.
2. Untuk mengetahui Rukun dan Syarat Syirkah.
3. Untuk mengetahui macam-macam syirkah.
4. Untuk mengetahui Mutanaqishas dan Syirkah Muntahiyah bit Tamlik.
5. Untuk mengetahui Fatwa tentang segala macam syirkah, Revenue Sharing, dan Profit Sharing dalam Fatwa DSN MUI.
6. Untuk mengetahui aplikasi syirkah di Bank Syariah dan Lembaga Keuangan Syariah
7. Untuk mengetahui apa yang membatalankan syirkah.


BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian dan Dasar Hukum
1. Pengertian Syirkah
Secara etimologi syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il mudhâri’), dan mashdar (kata dasar)nya ada tiga wazn (timbangan), boleh dibaca dengan salah satunya, yaitu: syirkatan / syarikatan /syarakatan; artinya persekutuan atau perserikatan. Dan dapat diartikan pula dengan percampuran, sebagaimana firman Allah dalam surat Shaad, ayat 24. (Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah Al-Bassam IV/601).Percampuran, yakni bercampurnya salah satu dari dari dua harta dengan harta lainnya, tanpa dapat dibedakan antara keduanya”
Menurut terminology, ulama fiqih beragam pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain :
a) Menurut Malikiyah :
“Perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharuf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama sama oleh keduanya, namun masing masing memiliki hak untuk bertasharruf.”
b) Menurut Hanabilah :
“Perhimpunan adalah hak (kewenangan) atau pengolahan harta (tasharruf).”
c) Menurut Syafi’iyah :
“Ketetapan pada sesuatu yang dimiliki dua orang atau lebih dengan cara yang masyhur (diketahui).”
d) Menurut Hanafiyah :
”Ungkapan tentang adanya transaksi (akad) antara dua orang yang bersekutu pada pokok harta dan keuntungan.”


2. Dasar Hukum Syirkah
Syirkah hukumnya diperbolehkan atau disyari’atkan berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits dan ijma’ (konsensus) kaum muslimin. Di antaranya:
a) Al-Qur’an:
Firman Allah Ta’ala:
قَالَ لَقَدۡ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعۡجَتِكَ إِلَىٰ نِعَاجِهِۦۖ وَإِنَّ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلۡخُلَطَآءِ لَيَبۡغِي بَعۡضُهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَقَلِيلٞ مَّا هُمۡۗ
“Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24)
فَهُمۡ شُرَكَآءُ فِي ٱلثُّلُثِۚ
“Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS. An-Nisa’: 12)

b) Hadits
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman: “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati pihak lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya.” (HR. Abu Daud no.3383, dan Al-Hakim no.2322).
c) Ijma’
Umat islam sepakat bahwa ijma’ dibolehkan, hanya saja, mereka berbeda pendapat tentang jenisnya.

B. Rukun dan Syarat Syirkah
Menurut mayoritas ulama fikih, bahwa rukun syirkah itu ada 3 (tiga), yaitu:
1) Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
2) Dua pihak yang berakad (al-‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan melakukan tasharruf (pengelolaan harta);
3) Obyek akad, disebut juga al-ma’qûd ‘alaihi, yang mencakup pekerjaan (al-amal) dan atau modal (al-mâl). (Al-Fiqhu ‘Alal Madzahibi al-Arba’ah, Abdurrahman al-Jaziri).
Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:
1) Obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli;
2) Obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha).

C. Macam-macam Syirkah
Syirkah ada dua jenis:
1. Syirkah Amlaak (Hak Milik)
Yaitu penguasaan harta secara kolektif, berupa bangunan, barang bergerak atau barang berharga. Yaitu perserikatan dua orang atau lebih yang dimiliki melalui transaksi jual beli, hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam bentuk syirkah seperti ini kedua belah pihak tidak berhak mengusik bagian rekan kongsinya, ia tidak boleh menggunakannya tanpa seijin rekannya. (Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah Al-Bassam IV/601).

2. Syirkah Uquud (Transaksional/kontrak)
Yaitu akad kerja sama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan, misalnya, dalam transaksi jual beli atau lainnya. Bentuk syirkah seperti inilah yang hendak kami bahas dalam tulisan kali ini. Dalam syirkah seperti ini, pihak-pihak yang berkongsi berhak menggunakan barang syirkah dengan kuasa masing-masing. Dalam hal ini, seseorang bertindak sebagai pemilik barang, jika yang digunakan adalah miliknya. Dan sebagai wakil, jika barang yang dipergunakan adalah milik rekannya.
Macam-Macam Syirkah Uquud (Transaksional/kontrak):
Berdasarkan penelitian para ulama fikih terdahulu terhadap dalil-dalil syar’i, bahwa di dalam Islam terdapat lima macam syarikah: yaitu syirkah al- inân, syirkah al-abdân, syirkah al-mudhârabah, syirkah al-wujûhdansyirkah al-mufâwadhah.
Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân, abdân, mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah inân, abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafi’iyah dan Zhahiriyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah. Sedangkan menurut Hanafiyah semua bentuk syirkah boleh/sah bila memenuhi syarat-syaratnya yang telah ditetapkan. (Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, Wahbah Az-Zuhaili, IV/795).
a) Syirkah al-‘Inaan
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih dengan harta masing-masing untuk dikelola oleh mereka sendiri, dan keuntungan dibagi di antara mereka, atau salah seorang sebagai pengelola dan mendapat jatah keuntungan lebih banyak daripada rekannya.
Jenis syirkah ini yang sering dilakukan oleh kebanyakan orang, karena tidak disyaratkan adanya kesamaan modal, usaha dan tanggung jawab.Dan hukum syirkah ini diperbolehkan berdasarkan konsensus para ulama, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu al-Mundzir. (Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaily IV/796).
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. sebagaimana kaidah fikih yang berlaku, yakni (Ar-Ribhu ‘Alâmâ Syarathâ wal Wadhii’atu ‘Alâ Qadril Mâlain).
b) Syirkah al-Mudharabah
Yaitu seseorang sebagai pemodal (investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola (mudharib) untuk diperdagangkan, dan dia berhak mendapat prosentase tertentu dari keuntungan.
c) Syirkah al-Wujuuh
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan nama baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit (hutang) dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai, lalu keuntungan yang didapat dibagi bersama atas dasar kesepakatan di antara mereka. (Bada-i’u ash-Shana-i’, karya al-Kasani VI/77)
Syirkah semacam ini juga dibolehkan menurut kalangan hanafiyah dan hanbaliyah, namun tidak sah menurut kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Zhahiriyah. (Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaily IV/801)
Disebutsyirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian seseorang di tengah masyarakat. Tak seorang pun memiliki modal, namun mereka memiliki nama baik, sehingga mereka membeli barang secara hutang dengan jaminan nama baik tersebut.
Dalam syirkah wujûh ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan.
d) Syirkah al-Abdaan (Syirkah Usaha)
Yaitu kerja sama antaradua orang atau lebih dalam usaha yang dilakukan oleh tubuh mereka, yakni masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl), seperti kerja sama sesame dokter di klinik, atau sesama arsitek untuk menggarap sebuah proyek, atau kerja sama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sekolah.Kerja sama semacam ini dibolehkan menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, namun imam Syafi’i melarangnya.
Syirkah ini kadang-kadang disebut juga dengan Syirkah al-A’maal dan ash-Shanaa-i’.Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang besi. (Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq III/260). Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal.Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).
Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah. Dari Abdullah binMas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
Hal itu diketahui Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan beliau membenarkannya dengan taqrîr.
e) Syirkah al-Mufawadhah
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama.
Syirkah Mufawadhah juga merupakan syirkah komprehensif yang dalam syirkah itu semua anggoga sepakat melakukan aliansi dalam semua jenis kerja sama, seperti ‘inan, abdan dan wujuh. Di mana masing-masing menyerahkan kepada pihak lain hak untuk mengoperasikan segala aktivitas yang menjadi komitmen kerja sama tersebut, seperti jual beli, penjaminan, penggadaian, sewa menyewa, menerima tenaga kerja, dan sejenisnya. Atau syirkah ini bisa pula diartikan kerja sama dalam segala hal.
Namun tidak termasuk dalam syirkah ini berbagai hasil sampingan yang didapatkannya, seperti barang temuan, warisan dan sejenisnya. Dan juga masing-masing tidak menanggung berbagai bentuk denda, seperti mengganti barang yang dirampas, ganti rugi syirkah , mengganti barang-barang yang dirusak dan sejenisnya.
Dengan demikian, syarat utama dari Syirkah ini adalah kesamaan dalam hal-hal berikut: Dana (modal) yang diberikan, kerja, tanggung jawab, beban utang dibagi oleh masing-masing pihak, dan agama. (Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaily IV/798, dan Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq III/259-260).

Hukum Syirkah ini dalam pengertian di atas dibolehkan menurut mayoritas ulama seperti Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya. Namun, imam asy-Syafi’i melarangnya.
Adapun keuntungan yang diperoleh dalam syirkah ini dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
D. Syirkah Mutanaqishah dan Syirkah Muntahiyah bit Tamlik
1. Syirkah Mutanaqishah
Syirkah mutanaqishah, salah satu bentuk kerja sama antara dua pihak yang pada saat kerja samanya berlangsung salah satu pihak melepas modalnya untuk dimiliki oleh pihak lainnya. Sehingga pada akhirnya hanya satu pihak yang mengelola investasi tersebut, karena modal pihak yang lain telah dialihkan kepada temannya.
Pada bank syariah, pembiayaan investasi menggunakan skema musyarakah mutanaqishah. Dalam hal ini, bank memberikan pembiayaan dengan prinsip penyertaan. Secara bertahap, bank melepaskan penyertaannya dan pemilik perusahaan akan mengambil alih kembali, baik dengan menggunakan surplus cashflow yang tercipta maupun dengan menambah modal, baik yang berasal dari setoran pemegang saham yang ada maupun dengan mengundang pemegang saham baru.
2. Syirkah Muntahiya Bit Tamlik
Syirkah Muntahiyat bit Tamlik tergolong dalam kategori Bai’ al-takjiri atau ijarah al-muntahiya bit-tamlik merupakan akad (kontrak) kerja sama antara dua orang atau lebih dengan cara menggabungan sewa dan beli, dimana pihak penyewa mempunyai hak untuk memiliki barang pada akhir masa sewa (financial lease).
E. Aplikasi Syirkah di Bank Syariah dan Lembaga Keuangan Syariah
Aplikasi Syirkah di Bank Syariah dan Lembaga Keuangan Syariah, yaitu:
1. Pembiyaan Proyek
Lembaga keuangan dan pengusaha secara bersama-sama menyediakan dana untuk membiayai sebuah proyek. Setelah proyek selesai, pengusaha mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati kepada lembaga keuangan.
2. Modal Ventura
Modalventura adalah merupakan suatu investasi dalam bentuk pembiayaan berupa penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan swasta sebagai pasangan usaha (investee company) untuk jangka waktu tertentu. Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu penyedia dana melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara langsung atau bertahap.

3. Kepemilikan Rumah dengan Akad Syirkah Mutanaqishah
Umumnya untuk produk Kepemilikan Rumah Sederhana (KPRS) bank-bank syariah masih menggunakan akad murabahah sebagai akad pembiayaannya. Untuk saat ini akad musyarakah mutanaqishah masih dalam proses pembahasan. Memang, akad ini dikalangan para praktisi perbankan syariah sudah banyak didiskusikan.
Mereka sudah mulai membahas dan agar segera dipraktekkan diperbankan syariah. Namun, sampai saat ini akad musyarakah mutanaqishah belum di fatwakan oleh Dewan Syariah Nasional; Majelis Ulama Indonesia (DSNMUI). Berarti secara legal akad musyarakah mutanaqishah belum bisa diterapkan. Sebuah akad agar bisa diterapkan di perbankan syariah menunggu proses difatwakan oleh DSN-MUI, selanjutnya diterbitkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI). Setelah terbitnya PBI bank-bank syariah baru dapat melaksanakannya. Untuk akad musyarakah mutanaqishah DSN-MUI masih dalam proses pembahasan dan mengkajinya dalam kaitan kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip syariah dan prinsip-prinsip lembaga keuangan. DSN-MUI sampai saat ini masih proses menampung penjelasan-penjelasan tentang akad tersebut dari berbagai pihak, terutama praktisi perbankan syariah, untuk kemudian dikaji lebih lanjut apakah sesuai dengan prinsip syariah atau tidak? Apakah bisa diterapkan atau tidak untuk praktek perbankan syariah di Indonesia? Tapi memang, ada bank syariah yang telah menerapkan akad syariah yang prinsipnya sama dengan akad musyarakah mutanaqishah. Mereka menyebutnya sebagai syirkatul milk. Akad ini digunakan sebagai pembiayaan untuk pembelian suatu barang, seperti rumah atau mobil, yang setiap 3 tahun sekali dapat dilakukan review berkaitan dengan pricing sewa.
F. Revenue Sharing dan Profit Sharing Fatwa DSN MUI No. 15
Profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.
Sistem profit and loss sharing dalam pelaksanaannya merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama antara pemodal (Investor) dan pengelola modal dalam menjalankan kegiatan usaha ekonomi, keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam usaha tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi kedua pihak sesuai nisbah kesepakatan di awal perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian akan ditanggung bersama sesuai porsi masing-masing.
Revenue sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Sistem revenue sharing berlaku pada pendapatan bank yang akan dibagikan dihitung berdasarkan pendapatan kotor (gross sales), yang digunakan dalam menghitung bagi hasil untuk produk pendanaan bank.
Dalam fatwa DSN No. 14/DSN-MUI/IX/2000 telah ditentukan cara pencatatan hasil usaha bank dan Lembaga keuangan Syariah. Ketentuanya berikut ini:
1. Pada prinsipnya, LKS boleh menggunakan sistem Accrual Basis maupun Cash Basis dalam administrasi keuangan.
2. Dilihat dari segi kemashlahantan (al-ashlah), dalam pencatatan sebaiknya digunakan sistem Accrual Sistem; akan tetapi, dalam distribusi hasil usaha hendaknya ditentukan atas dasar penerimaan yang benar-benar terjadi (Cash Basis).
3. Penetapan sistem yang dipilih harus disepakati dalam akad Fatwa diatas diperjelas lagi oeh fatwa DSN No.15/DSN-MUI/IX/2000. Tentang prinsip distribusi bagi hasildalam Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Berikut ini Ketentuanya:
a) Pada prinsipnya, LKS boleh menggunakan prinsip bagi hasil (net revenu sharing) maupun bagi hasil (profit Sharing) dalam pembagian hasil usaha dengan mitranya
b) Dilihat dari segi kemashlahantan (al-ashlah), dalam pembagian hasil usaha sebaiknya digunakan sistem Accrual Sistem; akan tetapi, dalam distribusi hasil usaha hendaknya ditentukan atas dasar penerimaan yang benar-benar terjadi (Cash Basis)
c) Penetapan sistem yang dipilih harus disepakati dalam akad. Dalam butir fatwa diatas dijelaskan bahwa mekanisme dalam pembagian hasil usaha dalam LKS dapat menggunakan pinsip Revenue Sharing dan Prinsip Profit and Loss Sharing. Prinsip Revenue Sharing diterapkan berdasarkan pendapat dari Imam Syafi’I yang mengatakan bahwa mudharib tidak boleh menggunakan harta Mudharabah sebagai biaya baik dalam keadaan menetap maupun dalam keadaan bepergian, karena mudharib telah mendapatkan keuntungan dari pengelolaan dana Shahibul maal. Sedangkan, untuk penerapan prinsip Profit and Loss Sharing berdasarkan pada pendapat Abu Hanifah, Malik, dan Zaidiyah yang mengatakan bahwa mudharib dapat membelanjakan harta mudharah untuk biaya minum, makan, pakain , dan lainnya. Namun harus untuk sesuatu yang telah dikenal dan tidak melakukan pemborosan.
G. Pembatalan Syirkah
Syirkah akan batal atau berakhir apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:
1. Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lainnya.
2. Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharruf, baik karena gila maupun alasan yang lainnya.
3. Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota syirkah lebih dari dua orang, yang batal hanyalah yang meniggal saja.
4. Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi saham syirkah.
5. Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah.



BAB III
PENUTUP


A. Simpulan
Syirkah adalah suatu perjanjian antara dua orang / lebih yang menghendaki tetapnya kerjasama dalam suatu usaha atau perdagangan. Secara garis besar perkongsian terbagi menjadi dua yaitu amlak (perkongsian ikhtiar dan ijbar) dan uqud yang terbagi menjadi beberapa macam menurut ulama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Ulama fiqih sepakat bahwa perkongsian ‘Inan dibolehkan sedangkan bentuk-bentuk lainnya masih diperselisihkan. Ulama syafi’iyah, zahiriyah, dan imamiyah menganggap semua bentuk perkongsian selain I’nan dan mudharabah adalah batal Ulama hanabilah membolehkan semua bentuk perkongsian sebagaimana yang disebutkan ulama hanafiyah diatas, kecuali perkongsian wujuh dan mufawidhah. Ulamal hanafiyah dan zaidiyah membolehkan semua bentuk perkongsian yang enam apabila sesuai dengan syarat-syaratnya.
Di Bank Syariah, aplikasinya syirkah meliputi pembiyaan proyek, modal ventura, kepemilikan rumah dengan Akad Syirkah Mutanaqishah.Dan untuk pembagian Revenue sharing dan profit sharing telah ditentukan dalam fatwa DSN-MUI No 15.
Syirkah dapat batal atau berakhir ketika salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lainnya, salah satu pihak kehilangan kecakapan baik karena gila maupun alasan yang lainnya, salah satu pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota syirkah lebih dari dua orang, yang batal hanyalah yang meniggal saja. Salah satu pihak jatuh bangkrut, dan modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah.


DAFTAR PUSTAKA

Antonio, M. Syafii. 2001. Bank Syariah Dalam Teori & Praktek. Gema InsaniPers. Jakarta
Ascarya. 2007. Akad & Produk Bank Syariah.Jakarta : Pt. Raja Grafindo Persada. Jakarta
http://abufawaz.wordpress.com/2012/11/05/1201/ (Diakses 21/03/2014 ; 21.00 WIB)
http://ekonom-rindang09.blogspot.com/2010/05/prinsip-bagi-hasil-revenue-sharing-dan.html (Diakses 19/03/2014 ; 20.00 WIB)
http://ekonom-rindang09.blogspot.com/2010/05/prinsip-bagi-hasil-revenue-sharing-dan.html (Diakses 19/03/2014 ; 20.15 WIB)
http://id.wikipedia.org/wiki/Musyarakah (Diakses 20/03/2014 ; 21.30 WIB)
http://pengusahamuslim.com/syirkah-dan-hukumhukumnya-kerjasama-permodalan/ (Diakses 21/03/2014 ; 21.25 WIB)
http://syirkahmudarabah.wordpress.com/ (Diakses 19/03/2014 ; 21.15 WIB)
http://www.bapepam.go.id/syariah/fatwa/index.html (Diakses 22/03/2014 ; 22.00 WIB)
Suhendi, Hendi.2010.Fiqh Muamalah,Rajawali Pers.Jakarta
Syafe’i, Rahmat. 2006. Fiqih Muamalah. Pustaka Setia. Bandung.
Syafei, Rachmat.2000.Fiqih Muammalah. Bandung: CV:Pustaka setia