IHYA' AL-MAWAT
BAB
I
PEMBAHASAN
IHYA’ AL-MAWAT
A.
Pengertian
Ihya’ Al-Mawat
Ihya
al-Mawat adalah dua lafadz yang menunjukan satu istilah dalam Fiqh dan
mempunyai maksud tersendiri. Bila diterjemahkan secara bahasa, ihya berarti menghidupkan dan mawat berasal dari maut yang berarti
mati atau wafat.
Secara terminologi, ada beberapa
pengertian yang dikemukakan para ulama’ fiqh tentang ihya’ al-mawat :
1.
Menurut Ulama’ Hanafiyah:
Penggarapan lahan yang
belun dimiliki dan digarap orang lain
karena ketiadaan irigasi serta jauh dari
pemukiman.
2.
Menurut ulama’ Malikiyah adalah:
Tanah atau lahan yang
selamat dari pengelolahan (sebab mengelola
lahan itu dengan sesuatu), atau sebab adanya penghalang untuk mengelola
lahan tersebut.
3.
Menurut ulama’ Syafi’iyah adalah:
Penggarapan tanah atau
lahan yang belum digarap orang lain, dan lahan itu jauh dari pemukiman maupun dekat.
4.
Menurut ulama’ Hanabilah adalah:
Lahan atau tanah yang
tidak ada pemiliknya, tidak ada airnya (gersang), tidak dikelola, serta tidak
dimanfaatkan oleh orang lain.
Dalam Al-quran tidak memberikan
penjelasan tentang ihya’ al-mawat secara jelas dan rinci. Al-quran hanya
mengungkapkan secara umum tentang keharusan bertebaran di atas bumi untuk
mencari karunia Allah.
فَإِذَا
قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ
وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٠
Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi,
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung. (Q.S. Al-Jumu’ah:10)
Ayat ini menganjurkan setiap muslim
untuk bertebaran di atas bumi Allah mencari nafkah setelah mereka menunaikan
shalat. Ungkapan bertebaran di atas bumi adalah berusaha sesuai dengan keahlian
dan profesi masing-masing. Untuk pertanian maka petani maka bercocok tanam di lahannya. Dalam hal ini
menghidupkan lahan yang kosong sangat dianjurkan dalam Islam karena
menghidupkan lahan-lahan tidur akan berdampak produktifitas masyarakat semakin
meningkat. Secara isyarah al-nas, ayat ini menganjurkan untuk menghidupkan
lahan kosong.
B.
Dasar
Hukum Ihya’ Al-Mawat
Adapun landasan hukum menghidupkan lahan
kosong atau ihya’ al-mawat yaitu mustahab, yang didasarkan pada hadis Nabi SAW.
yang mengatakan bahwa menghidupkan lahan tidur akan mendapatkan pahala dari
Allah SWT. Dalam kitab Kifayatul Akhyar hukum menghidupkan lahan kosong adalah
jaiz (boleh) dengan syarat orang yang menghidupkan lahan tersebut adalah Muslim
dan tanah yang dihidupkan bukan lahan yang sudah dimiliki orang lain.
Hadits yang berkenaan dengan ihya’
al-mawat:
Dari
Aisyah r.a : Nabi SAW. pernah bersabda, “ orang yang mengolah lahan yang tidak
dimiliki siapa pun lebih berhak untuk memilikinya. “Urwah berkata”, Umar r.a
memberi keputusan demikian pada masa kekhalifahannya.
(H.R Bukhari)
Dari
Jabir r.a, bahwasanya Nabi SAW. bersabda : Barang siapa yang mengolah lahan
tanah mati maka tanah tersebut beralih menjadi miliknya.
(H.R. Ahmad dan At-Turmudzy)
Dari Samurah
Ibn Jundab bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Barang siapa yang telah membuat suatu
dinding di bumi itu berarti telah menjadi haknya” (HR.Abu Daud)
Madzhab Malik dan Ahmad berbeda pendapat bahwa seseorang
yang akan membuka tanah baru atau akan memfungsikan tanah tidak wajib untuk
meminta ijin kepada penguasa sebab rasulullah saw bersabda:
“Barang
siapa yang mengidupkan tanah mati maka akan menjadi miliknya”
Muhammad Anwar dalam bukunya Fiqh Islam berpendapat
apabila tanah tersebut dikuaasai oleh
pemerintah maka yang akan mengelola harus meminta ijin kepada pemerintah.
Selanjutnya dikatakan apabila ada tanah kosong yang tidak diketahui oleh
pemiliknya dan tidak diketahui pula tempat tinggalnya, tetapi tanda-tanda
secara jelas menunjukan bahwa tanah tersebut sudah ada yang mengelolanya, tanah
tersebut harus dikuasai oleh negara.
Dijelaskan oleh Idris Ahmad bahwa tanah kosong yang
berada di lingukngan negara islam boleh dimiliki oleh orang islam baik yang
diijinkan oleh pemerintah maupun tidak.apabila tanah kosong dilingkungan orang
kafir maka orang-orang islam dibolehkan mengusahakanya apabila mereka tidak
dilarang.
Adapun penerapan menurut aturan hukum
atau undang-undang di Indonesia diatur dalam Undang-undang Peraturan
Dasar Pokok-pokok
Agraria (UUPA)
Nomor 5
Tahun 1960
C.
Cara-cara
Ihya’ Al-Mawat
Menurut Hafidz Abdullah dalam bukunya
bahwa cara-cara menghidupkan tanah mati atau dapat juga disebut dengan
memfungsikan tanah yang disia-siakan bermacam-macam. Perbedaan cara-cara ini
dipengaruhi oleh adat dan kebiasaan masyarakat. Adapun cara ihya’ al-mawat
adalah sebagai berikut:
1.
Menyuburkan, cara ini digunakan untuk
daerah yang gersang.
2.
Menanam, cara ini dilakukan untuk
didaerah-daerah yang subur.
3. Menggarisi
atau membuat pagar, hal ini dilakukan untuk tanah kosong yang luas, sehingga
tidak mungkin untuk dikuasai seluruhnya oleh orang yang menyuburkannya.
4. Menggali
parit, yaitu membuat parit di sekeliling kebun yang dikuasainya.
D.
Obyek
Yang Berkaitan Dengan Ihya’ Al-Mawat
Adapun obyek yang berkaitan dengan ihya
al-mawat ialah hanya berlaku untuk tanah mati, bukan tanah yang lain. Sedangkan
tanah-tanah yang tidak mati, tidak bisa dimiliki kecuali bila tanah tersebut
diberikan secara cuma-cuma oleh imam (khalifah), sebab ia tidak termasuk
hal-hal yang mubah untuk semua orang, namun hanya mubah bagi imam. Itulah yang
kemudian disebut dengan sebutan tanah-tanah milik negara. Hal itu ditunjukkan
oleh kasus Bilal Al-Muzni yang meminta sebidang tanah dengan cuma-cuma kepada
Rasulullah SAW, di mana dia tidak bisa memilikinya hingga tanah tersebut
diberikan oleh beliau kepadanya. Kalau seandainya dia bisa memiliki dengan cara
menghidupkan dan memagarinya, karena dia telah memagarinya dengan suatu tanda
yang bisa menunjukkan pemilikannya atas tanah tersebut, tentu tanah tersebut
bisa dia miliki tanpa harus meminta Rasul SAW. agar memberikannya.
Tidak semua lahan kosong yang boleh
dijadikan obyek ihya’ al-mawat. Menurut Ibn Qudamah, lahan yang akan dihidupkan
itu ada dua jenis : pertama, lahan yang belum ada pemiliknya maka lahan seperti
ini menjadi hak milik bagi orang yang menghidupkannya dan tidak memerlukan izin
dari imam. Kedua, tanah yang ada pemiliknya tetapi tidak diketahui pemiliknya
secara jelas mungkin sudah wafat dan lain sebagainya.
E.
Hukum-hukum
Ihya’ Al-Mawat
Menurut Syekh Muhammad Ibn Qasyim
al-Ghazzi, ihya’ al-mawat (menghidupkan bumi mati) hukumnya boleh dengan adanya
dua syarat yaitu:
1.
Bahwa yang menghidupkan itu orang Islam,
maka disunnahkan baginya menghidupkan bumi mati, meskipun Imam (pemuka)
mengizinkan atau tidak.
2.
Bumi yang mati itu jelas (bebas) belum
ada seorang Islam pun yang memilikinya dan menurut keterangan, bahwa bumi mati
itu dalam status jelas merdeka.
Para ulama Fiqh menyatakan bahwa jika
seseorang menggarap sebidang lahan kosong yang memenuhi syarat-syaratnya, maka
akibat hukumnya adalah:
1.
Pemilikan lahan itu.
Mayoritas ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa jika
seseorang telah menggarap sebidang lahan kosong, maka ia berhak atas lahan itu
sebagai pemilik lahan, Akan tetapi, Abu al-Qasim al-Balkhi pakar Fiqh Hanafi
menyatakan bahwa status orang yang menggarap sebidang lahan hanyalah status hak
guna tanah, bukan hak milik. Ia menganalogikannya dengan seseorang yang duduk
di atas tempat yang dibolehkan, maka ia hanya berhak memanfaatkannya bukan
memiliknya.
2.
Hubungan pemerintah dengan lahan itu.
Menurut ulama Hanabilah, Syafi’iyah, dan Malikiyah
pemerintah tidak boleh mengambil pajak dari hasil lahan itu, jika yang
menggarapnya seorang muslim. Tetapi, apabila penggarap itu seorang kafir
dzimmi, pemerintah boleh mengambil pajaknya sebesar 10%. Menurut Abu Yusuf,
apabila yang menggarap lahan itu seorang muslim, maka pemerintah dapat memungut
pajak sebesar 10% dari hasil lahan garapan itu.
3.
Seorang telah menggarap sebidang lahan
Apabila seseorang telah menggarap lahan maka ia
berhak memanfaatkan lahan itu untuk menunjang lahan, seperti memanfaatkan lahan
itu untuk disebelahnya untuk keperluan irigasi. Akan tetapi, para ulama fiqh
sepakat menyatakan bahwa sebelum ia menggarap lahan itu hak memanfaatkan lahan
sekelilingnya belum boleh.
F.
Syarat-syarat
Ihya’ Al-Mawat
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa
syarat-syarat ihya’ al-mawat mencakup tiga hal, yaitu:
1. Orang
yang menggarap
Menurut Ulama’
Syafi’iyah, haruslah seorang Muslim, karena kaum dzimmi tidak berhak menggarap
lahan umat islam sekalipun diizinkan oleh pihak penguasa, jika kaum dzimmi atau
orang kafir menggarap lahan orang Islam itu berarti penguasaan terhadap hak
milik orang Islam, sedangkan kaum dzimmi atau orang kafir tidak boleh menguasai
orang Islam, oleh sebab itu, jika orang kafir menggarap lahan kosong, lalu
datang seorang muslim merampasnya, maka orang muslim boleh menggarap lahan itu
dan menjadi miliknya. Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa orang kafir tidak
boleh memiliki lahan yang ada di negara Islam.
Menurut Ulama’ Hanafiyah, Malikiyah, dan
Hanabilah menyatakan bahwa orang yang akan menggarap lahan itu tidak
disyaratkan seorang muslim. Mereka menyatakan tidak ada bedanya antara orang
muslim dan non-muslim dalam menggarap sebidang lahan yang kosong. Kemudian
mereka (jumhur ulama) juga menyatakan bahwa ihya’ al-mawat merupakan salah satu
pemilikan lahan, oleh sebab itu tidak perlu dibedakan antara muslim dan
non-muslim.
2. Lahan
yang akan digarap
Menurut Ulama’
Syafi’iyah lahan itu harus berada di wilayah islam, akan tetapi jumhur ulama’
berpendapat bahwa tidak ada bedanya antara lahan yang ada di negara islam
maupun bukan, bukan lahan yang dimilki
seseorang, baik muslim maupun dzimmi, bukan lahan yang dijadikan sarana
penunjang bagi suatu perkampungan, seperti lapangan olah raga dan lapangan
untuk mengembala ternak warga perkampungan, baik lahan itu dekat maupun jauh
dari perkampungan.
3. Proses
penggarapan lahan
Menurut Imam Abu
Hanifah, harus mendapat izin dari pemrintah, apabila pemerintah tidak
mengizinkannya, maka seseorang tidak boleh langsung menggarap lahan itu,
menurut ulama Malikiyah, jika lahan itu dekat dengan pemukiman, maka
menggarapnya harus mandapat izin dari pemerintah, dan jika lahan itu jauh dari
pemukiman tidak perlu izin dari pemerintah, menurut ulama Syafi’iyah,
Hanabilah, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani keduanya pakar fiqh
Hanafi, menyatakan bahwa seluruh lahan yang menjadi objek ihya’ al-mawat jika
digarap oleh seseorang tidak perlu mendapt izin dari pemerintah, karena harta
seperti itu adalah harta yang boleh dimilki
setiap orang, dan hadis-hadis Rasulullah SAW, tidak ada yang mengatakan perlu
izin dari pihak pemerintah, akan tetapi, mereka sangat tetap menganjurkan
mendapatkan izin dari pemerintah, untuk menghindari sengketa dikemudian hari.
G.
Izin
Penguasa Dalam Ihya’ al-Mawat
Mayoritas ulama berbeda pendapat bahwa
membuka lahan kosong menjadi sebab pemilikan tanah tanpa wajib diwajibkan izin
dari pemerintah. Orang yang membuka lahan (tanah) baru otomatis menjadi
miliknya tanpa perlu meminta izin lagi kepada pemerintah. Dan penguasa
(pemerintah) berkewajiban memberikan haknya apabila terjadi persengketaan
mengenai hal tersebut. Imam Abu Hanifah berpendapat, pembukaan tanah merupakan
sebab pemilikan (tanah), akan tetapi disyaratkan juga mendapat izin dari
penguasa dalam bentuk ketetapan sesuai aturan. Namun, muridnya Abu Yusuf
menganjurkan bahwa, izin dari penguasa itu tidaklah penting. Abu Yusuf
menjustifikasi pendapat gurunya untuk mencegah konflik antara dua pihak yang
saling mengklaim. Dalam kondisi normal, di mana tidak ada kekhawatiran semacam
itu, seseorang dapat memperoleh tanah yang telah dikembangkannya tanpa izin
dari pihak penguasa. Karena motif di balik pemberian kepemilikan atas tanah
mati adalah mengembangkan tanah kosong agar dapat ditanami, para fuqaha
menjelaskan bahwa siapa saja yang menduduki sebidang tanah mati tanpa
menanaminya, ia harus meninggalkan tanah tersebut. Sedangkan imam Malik
membedakan antara tanah yang berdekatan dengan area perkampungan dan tanah yang
jauh darinya. Apabila tanah tersebut berdekatan, maka diharuskan mendapat izin
penguasa. Namun. Apabila, jauh dari perkampungan maka tidak disyaratkan izin
penguasa. Tanah tersebut otomatis menjadi milik orang yang pertama membukanya.
Pada masa Rasulullah keizinan itu
langsung didapatkan berdasarkan anjurannya siapa yang membuka lahan kosong maka lahan itu
menjadi miliknya. Rasulullah telah memubahkan kepada individu untuk memiliki
tanah mati dengan cara menghidupkan dan memagarinya, sehingga hal itu merupakan
sesuatu yang mubah. Oleh karena itu, untuk menghidupkan dan memagarinya tidak
perlu izin dari imam (penguasa). Ajaran tersebut sudah menunjukkan adanya
keizinan dari Rasulullah yang saat itu merupakan imam/pemimpin kaum muslimin.
Pada prinsipnya, kepemilikan asli tanah
mati tetap menjadi milik negara, namun, bagi individu kepemilikannya terkait
dengan pemakmurannya. Telah menjadi ketentuan umum para fuqaha bahwa seseorang
yang menghidupkan tanah mati, dialah pemiliknya. Yahya meriwayatkan bahwa Nabi
SAW. bersabda: “Hak kepemilikan pertama atas tanah adalah hak Allah dan Nabi,
kemudian hakmu. Akan tetapi, orang yang memakmurkan setiap tanah mati memperoleh
hak untuk memilikinya.”. Ini menunjukkan bahwa tanah mati merupakan perhatian
utama kebijakan keuangan Islam awal. Implikasinya adalah menjadikan tanah
kosong cocok untuk ditanami yang membuat kepemilikan individu atas tanah
tersebut. Abu Yusuf juga berpandangan, orang yang memakmurkan tanah mati, ia
memperoleh hak kepemilikan atasnya dan dapat terus menanami atau membiarkannya
untuk ditanami, menggali saluran di dalamnya atau membangunnya untuk kepentingannya.
Dari uraian di atas jelaslah, bahwa
sasaran utama pemberian izin kepada individu untuk memiliki tanah mati adalah
untuk mendorong menanami dan membangun tanah mati. Pemanfaatan tanah yang tidak
digunakan secara alamiah menguntungkan kas negara dari segi keuangan dengan
menciptakan lebih banyak pendapatan melalui pajak tanah.
Di Indonesia kewenangan untuk membuka
lahan tidur diberikan kepada setiap individu atau badan hukum selama pembukaan
lahan tersebut mendapatkan izin dari penguasa setempat baik dari camat, bupati,
atau gubernur ditingkat propinsi. Untuk tanah yang berukuran luas, maka harus
mendapatkan izin langsung dari Badan pertanahan Nasional. Untuk lahan yang
dibutuhkan masyarakat banyak dan kebutuhan masyarakat sangat tergantung pada
lahan tersebut, maka dalam hukum Islam lahan seperti ini tidak boleh dihidupkan
untuk dimiliki.
Hal yang sama juga dijumpai dalam UUPA
yang menjelaskan bahwa tanah yang berfungsi sosial tidak dapat dimiliki oleh siapa pun selama tanah
itu masih difungsikan untuk kebutuhan sosial atau keagamaaan. Hukum Islam tidak
mengenal kepemilikan tanah secara kolektif seperti yang terdapat dalam
masyarakat adat yang disebut dengan hak ulayat. Kepemilikan tanah dalam Islam
lebih cenderung bersifat individual. UUPA sebenarnya lebih cenderung
mengarahkan kepemilikan tanah yang bersifat kolektif tersebut semakin
dikurangi, oleh karena itulah pemerintah menganjurkan pemerintah lokal untuk
tidak menghidup-hidupkan kembali kepemilikan tanah bersifat kolektif tersebut
(tanah ulayat).
Untuk pembukaan lahan baru yang belum
pernah dimiliki seseorang atau badan hukum, maka kewenangan untuk membuka lahan
baru tersebut tidak bisa dilakukan begitu saja akan tetapi harus mendapatkan
izin dari pemerintah setempat yaitu kepada Gubernur untuk tingkat propinsi,
Wali Kotamadya/Bupati untuk tingkat Kotamadya/Kabupaten, dan Camat Kepala Wilayah
untuk tingkat kecamatan.
H.
Ihya’
Al-Mawat Dalam Pertanian
Kebijakan Islam dalam distribusi lahan
pertanian tentu amat erat kaitannya dengan tanah. Tanah merupakan faktor
produksi paling penting yang menjadi bahan kajian paling serius para ahli
ekonomi, karena sifatnya yang khusus yang tidak dimiliki oleh faktor produksi
lainnya. Sifat itu antara lain tanah dapat
memenuhi kebutuhan pokok dan permanen manusia, tanah kuantitasnya
terbatas dan tanah bersifat tetap. Sifat
lainnya adalah tanah bukan produk tenaga kerja. Segala sesuatu yang lain adalah
produk tenaga kerja kecuali tanah. Di dalam masyarakat, permasalahan tanah juga
telah menjadi penyebab pertentangan, pertikaian dan pertumpahan darah. Tanah
juga memberikan andil besar dalam perubahan struktur dan sistem masyarakat.
Hingga kini persoalan kepemilikan dan
penguasaan tanah masih menjadi agenda utama perekonomian. Persoalan tentang
kepemilikan tanah masih tetap belum terjawab oleh ekonomi kapitalis dan
sosialis. Namun, persoalan ini telah lama mampu dijawab oleh sistem ekonomi
Islam. Sistem ekonomi Islam memandang kepemilikan tanah harus diatur
sebaik-baiknya karena mempengaruhi rangsangan produksi. Islam secara tegas
menolak sistem pembagian penguasaan tanah secara merata di antara seluruh
masyarakat sebagaimana yang menjadi agenda land reform. Namun demikian, Islam
juga tidak mengizinkan terjadinya penguasaan tanah secara berlebihan di luar
kemampuan untuk mengelolanya. Sistem ekonomi Islam mengakui tanah termasuk
dalam kategori kepemilikan individu apabila tidak ada unsur-unsur yang
menghalanginya, seperti terdapat kandungan bahan tambang atau dikuasai oleh
negara. Ketika kepemilikan ini dianggap absah secara syariah, maka pemilik
tanah memiliki hak untuk mengelola tanahnya maupun memindahtangankan tanahnya
melalui pewarisan, jual-beli, hibah, wakaf, ihya’ al-mawat, tahjir, dan iqtha’.
Jika hukum-hukum lahan pertanian dan
kebijakan pertanian diterapkan, masalah-masalah lahan di Indonesia kiranya akan
dapat diselesaikan dengan tuntas. Masalah lahan yang sempit, dapat diselesaikan
dengan menerapkan hukum ihya’ al-mawat. Seluruh rakyat baik Muslim maupun
non-Muslim akan mendapat kesempatan memiliki tanah dengan mekanisme ihya’
al-mawat. Dengan kata lain, sistem ekonomi Islam telah menetapkan mekanisme
lainnya dalam penguasaan tanah secara khusus, yaitu menghidupkan tanah mati dan
pemberian oleh negara. Karena itu, hukum-hukum seputar tanah dalam pandangan
Islam memiliki karakteristik yang khas dan berbeda dengan sistem ekonomi
lainnya.
BAB
II
KESIMPULAN
Ihya’
al-mawat adalah penggarapan lahan kosong yang belum diolah dan belum dimiliki
seseorang untuk dijadikan lahan produktif, baik sebagai lahan pertanian maupun
mendirikan bangunan.
Dasar
hukum ihya’ al-mawat didasarkan pada hadis Nabi SAW. yang mengatakan bahwa
menghidupkan lahan tidur akan mendapatkan pahala dari Allah SWT.
Cara-cara
Ihya’ al-Mawat adalah sebagai berikut: menyuburkan, menanam, membuat pagar, dan
menggali parit. Dan Obyek yang berkaitan dengan Ihya
al-Mawat ialah hanya berlaku untuk tanah mati. Sedangkan tanah-tanah yang tidak
mati, tidak bisa dimiliki kecuali bila tanah tersebut diberikan secara
cuma-cuma oleh imam (khalifah), sebab ia tidak termasuk hal-hal yang mubah
untuk semua orang, namun hanya mubah bagi imam.
Para
ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa syarat-syarat ihya’ al-mawat mencakup:
orang yang menggarap, lahan yang akan digarap, dan proses penggarapan.
Mayoritas
ulama berbeda pendapat bahwa membuka lahan kosong menjadi sebab pemilikan tanah
tanpa wajib diwajibkan izin dari pemerintah. Orang yang membuka lahan (tanah)
baru otomatis menjadi miliknya tanpa perlu meminta izin lagi kepada pemerintah.
Dan penguasa (pemerintah) berkewajiban memberikan haknya apabila terjadi
persengketaan mengenai hal tersebut.
Dalam
masalah pertanian, jika hukum-hukum lahan pertanian dan kebijakan pertanian
diterapkan, masalah-masalah lahan kiranya akan dapat diselesaikan dengan
tuntas. Masalah lahan yang sempit, dapat diselesaikan dengan menerapkan hukum
ihya’ al-mawat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Hafidz.1992.Kunci Fiqih Syafi’i.Semarang:CV.Asy
Syifa.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Koleksi Hadis-Hadis
Hukum. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001.
Haroen, Nasrun.2007.Fiqh Muamalah.Gaya Media Pratama:Jakarta.
http://abuabdilbarr.wordpress.com/tag/ihyaul-mawat/
(Diakses: 25 April 2014: 20.20 WIB)
http://ekonomiislamindonesia.blogspot.com/2012/09/ihyaul-mawat.html
(Diakses: 25 April 2014 : 20.20 WIB)
http://ensiklopedi-alquran.com/index.php/index/2150-ihya-ul-mawat-membuka-tanah-baru
(Diakses: 25 April 2014: 20.20 WIB)
http://shoimnj.blogspot.com/2011/07/ihyaul-mawat-atau-membuka-lahan-baru.html
(Diakses: 25 April 2014: 20.20 WIB)
http://www.al-khilafah.org/2011/08/masalah-lahan-pertanian-di-indonesia.html
(Diakses: 25 April 2014: 20.20 WIB)
Suhendi, Hendi.2010.Fiqh Muamalah,Rajawali
Pers.Jakarta
Syafe’i, Rahmat.2006. Fiqih Muamalah. Pustaka Setia.
Bandung.
